Penilaian adalah
rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang
proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis
dan berkesinambungan sehingga dapat menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan.
Standar Penilaian
kurikulum 2013 bertujuan untuk menjamin perencanaan penilaian peserta
didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan
prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan penilaian peserta didik secara
profesional, terbuka, edukatif, efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks
sosial budaya; dan pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel,
dan informatif.
Saat ini kita sebagai
fasilitator atau pendidik banyak di harap untuk bisa melakukan pola pendidikan
dan pengajaran dengan mengedepankan high order thingkin skill (HOTS),
yaitu suatu pola pembelajaran yang mengharuskan fasilitator atau pendidik untuk
bisa menciptakan pola interaksi belajar-mengajar yeng menuntut peserta didik
melakukan pola berfikir tingkat tinggi. Tidak hanya sekedar pada tahap hafalan
atau pemahaman, tapi lebih jauh dari itu yaitu berfikir analisis, sintesis, atau
bahkan lebih tinggi dari itu. Namun kenyataan di lapangan, masih banyak
pendidik di sekolah/Madrasah yang belum melakukan penilaian sesuai dengan
kondisi nyata dan standar penilaian.
Oleh karena itu
untuk memperkuat sistem penilaian dalam pembelajaran perlu adanya
literatur sebagai pedoman yang senantiasa dapat digunakan oleh setiap
orang yang berperan dalam penilaian.
Penyusunan
perencanaan, pelaksanaan proses, dan penilaian merupakan rangkaian program
pendidikan yang utuh, dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Untuk itu, perlu ada model penilaian otentik yang
dapat dijadikan sebagai salah satu acuan atau referensi oleh pendidik dan
penyelenggaranya di jenjang sekolah/madrasah.
A.
Pengertian dan Konsep Penilaian Otentik (authentic
assessment)
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan
secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran
(output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Penilaian autentik menilai kesiapan peserta didik, serta proses
dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen (input –
proses – output) tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil belajar
peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional
effects) dan dampak pengiring (nurturant effects) dari pembelajaran. Penilaian autentik sebagai upaya pemberian tugas kepada
peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam
aktivitas-aktivitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi dan
membahas artikel, memberikan analisis oral terhadap peristiwa, berkolaborasi
dengan antarsesama melalui debat, dan sebagainya. Penilaian autentik memiliki
relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah (scientific approach) , karena
penilaian semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta
didik, baik dalam rangka mengobservasi, menanya, menalar, mencoba, dan
membangun jejaring. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas
kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan
kompetensi mereka yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Karenanya, penilaian autentik sangat relevan dengan pendekatan saintifik dalam
pembelajaran di SMA. Penilaian autentik merupakan pendekatan dan instrumen
penilaian yang memberikan kesempatan luas kepada peserta didik untuk menerapkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sudah dimilikinya dalam bentuk
tugas-tugas: membaca dan meringkasnya, eksperimen, mengamati, survei, projek,
makalah, membuat multi media, membuat karangan, dan diskusi kelas. Jenid
penilaian autentik antara lain penilaian kinerja, penilaian portofolio, dan penilaian
projek, termasuk penilaian diri peserta didik. Penilaian autentik adakalanya
disebut penilaian responsif, suatu metode untuk menilai proses dan hasil
belajar peserta didik yang memiliki ciri-ciri khusus, mulai dari mereka yang
mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus, hingga yang
jenius. Penilaian autentik dapat diterapkan dalam
berbagai bidang ilmu seperti seni atau ilmu pengetahuan pada umumnya, dengan
orientasi utamanya pada proses dan hasil pembelajaran. Hasil penilaian autentik
dapat digunakan oleh pendidik untuk merencanakan program perbaikan (remedial),
pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian
autentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran
yang memenuhi Standar Penilaian Pendidikan
Penilaian otentik (Authentic Assessment) adalah
pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil
belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.Istilah Assessment
merupakan sinonim dari penilaian, pengukuran, pengujian, atau
evaluasi. Sedangkan istilah otentik merupakan sinonim dari asli,
nyata, valid, atau reliabel.
ecara konseptual penilaian otentik lebih bermakna
secara signifikan dibandingkan dengan tes pilihan ganda terstandar
sekali pun.Ketika menerapkan penilaian otentik untuk mengetahui hasil dan
prestasi belajar peserta didik, pendidik menerapkan kriteria yang berkaitan
dengan konstruksi pengetahuan, aktivitas mengamati dan mencoba, dan nilai
prestasi luar pembelajaran.
Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum
2013. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar
peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun
jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik cenderung fokus pada tugas-tugas
kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan
kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik.
Penilaian otentik merupakan suatu bentuk tugas yang
menghendaki peserta didik untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara
bermakna, yang merupakan penerapan esensi pengetahuan dan keterampilan.
Penilaian otentik juga menekankan kemampuan peserta didik untuk mendemonstrasikan
pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak
sekedar menanyakan atau menyadap pengetahuan, melainkan kinerja secara nyata
dari pengetahuan yang telah dikuasai sehingga penilaian otentik merupakan
penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input),
proses,dan keluaran (output) pembelajaran.
Penilaian otentik bertujuan untuk mengukur berbagai
keterampilan dalam berbagai konteks yang mencerminkan situasi di dunia nyata di
mana keterampilan-keterampilan tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada
peserta didik untuk menulis topik-topik tertentu sebagaimana halnya di
kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau bedah buku,
menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap cetak. Jadi,
penilaian model ini menekankan pada pengukuran kinerja, doing something,
melakukan sesuatu yang merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah
dikuasai secara teoretis.
Penilaian otentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan
pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau
produk. Peserta didik tidak sekedar diminta merespon jawaban seperti dalam tes
tradisional, melainkan dituntut untuk mampu mengkreasikan dan menghasilkan
jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis.
Penilaian otentik dalam implementasi kurikulum 2013
mengacu kepada standar penilaian yang terdiri dari:
1. Penilaian kompetensi
sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian “teman sejawat”(peer
evaluation) oleh peserta didik dan jurnal
2. Pengetahuan melalui tes tulis, tes, lisan, dan
penugasan.
3. Keterampilan melalui
penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik,
projek, dan penilaian portofolio
B.
Manfaat Penilaian
Otentik
1. Penggunaan penilaian autentik memungkinkan
dilakukannya pengukuran secara langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai
indikator capain kompetensi yang dibelajarkan. Penilaian yang hanya mengukur
capaian pengetahuan yang telah dikuasai pembelajar hanya bersifat tidak
langsung. Tetapi, penilaian autentik menuntut pembelajar untuk berunjuk kerja
dalam situasi yang konkret dan sekaligus bermakna yang secara otomatis juga
mencerminkan penguasaan dan keterampilan keilmuannnya. Unjuk kerja tersebut
bersifat langsung, langsung terkait dengan konteks situasi dunia nyata dan
tampilannya juga dapat diamati langsung. Hal itu lebih mencerminkan tingkat
capaian pada bidang yang dipelajari. Misalnya, dalam belajar berbicara bahasa
target, pembelajar tidak hanya berlatih mengucapkan lafal, memilih kata, dan
menyusun kalimat, melainkan juga mempratikkannya dalam situasi konkret dan
dengan topic aktual-realistik sehingga menjadi lebih bermakna.
2. Penilaian autentik memberikan kesempatan pembelajar
untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian haruslah tidak sekadar
meminta pembelajar mengulang apa yang telah dipelajari karena hal demikian
hanyalah melatih mereka menghafal dan mengingat saja yang kurang bermakna.
Dengan penilaian autentik pembelajar diminta untuk mengkonstruksikan apa yang
telah diperoleh ketika mereka dihadapkan pada situasi konkret. Dengan cara ini
pembelajar akan menyeleksi dan menyusun jawaban berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki dan analisis situasi yang dilakukan agar jawabannya relevan dan
bermakna.
3. Penilaian autentik memungkinkan terintegrasikannya
kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu paket kegiatan yang
terpadu. Dalam pembelajaran tradisional, juga model penilaian tradisional,
antara kegiatan pengajaran dan penilaian merupakan sesuatu yang terpisah, atau
sengaja dipisahkan. Namun, tidak demikian halnya dengan model penilaian
autentik. Ketiga hal tersebut, yaitu aktivitas guru membelajarkan, siswa
belajar, dan guru menilai capaian hasil belajar pembelajar, merupakan satu
rangkaian yang memang sengaja didesain demikian. Ketika guru membelajarkan
suatu topik dan pembelajar aktif mempelajari, penilaiannya bukan semata berupa
tagihan terhadap penguasaan topik itu, melainkan pembelajar juga diminta untuk
berunjuk kerja mempraktikkannya dalam sebuah situasi konkret yang sengaja
diciptakan.
4. Penilaian autentik memberi kesempatan pembelajar untuk
menampilkan hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap paling
baik.Singkatnya, model ini memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara,
bentuk, atau tampilan yang menurutnya paling efektif. Hal itu berbeda dengan
penilaian tradisional, misalnya bentuk tes pilihan ganda, yang hanya memberi
satu cara untuk menjawab dan tidak menawarkan kemungkinan lain yang dapat
dipilih. Jawaban pembelajar dengan model ini memang seragam, dan itu memudahkan
kita mengolahnya, tetapi itu menutup kreativitas pembelajar untuk mengkreasikan
jawaban atau kinerjanya. Padahal, unsur kreativitas atau kemampuan berkreasi
merupakan hal esensial yang harus diusahakan ketercapaiannya dalam tujuan
pembelajaran.
C.
Ciri Penilaian Otentik
1. Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu.
2. Mencerminkan masalh dunia nyata bukan hanya dunia
sekolah.
3. Menggunakan berbagai cara dan criteria.
4. Holistik (kompetensi utuh merefleksikan sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan.
D.
Karakteristik Penilaian Otentik
Menurut Santosa (2004) beberapa karakteristik
penilaian otentik adalah sebagai berikut
1. Penilaian merupakan bagian dari proses pembelajaran.
2. Menilaian mencerminkan hasil proses belajar pada
kehidupan nyata.
3. Menggunakan bermacam-macam instrumen, pengukuran, dan
metode yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
4. Penilaian harus bersifat komprehensif dan holistik
yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran.
Di sisi lain, Nurhadi (2004:173) mengemukakan terdapat
beberapa karakteristik penilaian otentik sebagai berikut.
1. Melibatkan pengalaman nyata (involves real-world
experience).
2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung.
3. Mencakup penilaian pribadi (self assesment) dan
refleksi.
4. Hal yang diukur adalah keterampilan dan performansi bukan
sekedar mengingat fakta.
5. Bentuk penilaian yang berkesinambungan.
6. Sistem penilaian yang terintegrasi.
7. Dapat digunakan sebagai umpan balik terhadap guru.
8. Kriteria keberhasilan dan kegagalan diketahui siswa
dengan jelas.
E.
Tujuan & Prinsip-Prinsip Penilaian Otentik
Santoso (2004) mengungkapkan beberapa tujuan penilaian
otentik sebagai berikut.
1. Menilai kemampuan individu melalui tugas tertentu.
2. Menentukan kebutuhan pembelajaran.
3. Membantu dan mendorong siswa.
4. Membantu dan mendorong guru mengajar yang lebih baik.
5. Menentukan strategi pembelajaran.
6. Akuntabilitas lembaga.
7. Meningkatkan kualitas pendidikan.
Lebih jauh, Santoso (2004) mengungkapkan beberapa
prinsip penilaian otentik sebagai berikut.
1. Keeping track, yaitu harus mampu menelusuri dan
melacak kemajuan siswa sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah
ditetapkan.
2. Checking up, yaitu harus mampu mengecek ketercapaian kemampuan
peserta didik dalam proses pembelajaran.
3. Finding out, yaitu penilaian harus mampu mencari dan
menemukan serta mendeteksi kesalahan-kesalahan yang menyebabkan terjadinya
kelemahan dalam proses pembelajaran.
4. Summing up, yaitu penilaian harus mampu menyimpulkan
apakah peserta didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum.
F.
Cakupan Penilaian Otentik
Terdapat tiga aspek
dinilai dalam penilaian otentik, yaitu kognitif (kepandaian), afektif (sikap),
dan psikomotorik. Griffin dan Peter (1991:52-61) mengatakan bahwa setiap aspek
yang dinilai memiliki karakteristik sendiri-sendiri dan membutuhkan bentuk
penilaian yang berbeda seperti penjelasan di bawah ini.
1.
Kognitif
Aspek
ini berhubungan dengan pengetahuan individual (kepandaian/pemahaman) yang
ditunjukkan dengan siswa memperoleh hasil dari pembelajaran yang telah
dilakukan. Bentuk penilaian kognitif ini secara eksplisit maupun implisit harus
merepresentasikan tujuan pencapaian pembelajaran. Biasanya tes yang
dilaksanakan oleh guru dapat berupa ujian untuk mengetahui pemahaman terhadap
materi.
2.
Afektif
Alport
(dalam Griffin dan Peter, 1991:56) menyatakan bahwa afektif merupakan bentuk
integrasi dari beberapa karakter, yaitu: prediksi respon baik dan tidak baik,
sikap dibentuk oleh pengalaman, dan tercermin dalam kegiatan sehari-hari.
Karakteristik sikap yang dinilai merupakan bentuk perasaan individual dan
emosional siswa. Dalam melakukan penilaian ini guru harus cermat dan hati-hati
karena skala sikap biasanya sulit ditentukan secara objektif. Komponen
penilaian sikap pada siswa meliputi emosi, konsistensi, target/tujuan, dan
ketertarikan/minat. Indikator yang dapat digunakan pada skala sikap misalnya
baik-tidak baik, indikator pada minat misalnya tertarik-tidak tertarik dan
sebagainya. Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan teknik skala, metode
observasi, dan respon psikologi.
3.
Psikomotorik
Perkembangan
psikomotorik juga merupakan bagian dai ranah evaluasi yang harus diketahui oleh
guru. Penilaian psikomotorik merupakan bentuk pengukuran kemampuan fisik siswa
yang meliputi otot, kemampuan bergerak, memanipulasi objek, dan koordinasi otot
syaraf. Contoh penilaian ini misalnya pada kemampuan otot kecil (misal
mengetik) atau otot besar (misal melompat). Contoh yang termasuk aktivitas
motorik seperti pendidikan fisik, menulis tangan, membuat hasil karya kerajinan
dan lain-lain. Pengetahuan guru untuk mengenali kemampuan psikomotorik siswa
sangat penting karena psikomotorik merupakan bagian dari bentuk kecerdasan.
Siswa yang mampu mengetik secara cepat tidak hanya sekedar memiliki kemampuan
menggunakan perangkat computer secara efisien, tetapi di dalamnya juga
terintegrasi kemampuan untuk membaca dan mengeja. Tipe penilaian psikomotorik
yang digunakan harus mengacu pada tujuan, misalnya melalui pertanyaan di bawah
ini.
a.
Apakah
siswa mampu melakukan tugas dengan baik?
b.
Apakah
siswa dapat menunjukkan penampilan terbaiknya dalam tugas tersebut?
c.
Bagaimana
penampilan seorang siswa jika dibandingkan dengan siswa yang lain dalam
kelas/bidang yang sama?
Penilaian otentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Karena, penilaian semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil
belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba,
membangun jejaring, dan lain-lain. Asesmen autentik cenderung fokus pada
tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk
menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih otentik. Karenanya, penilaian otentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu
dalam pembejajaran, khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran
yang sesuai.
Kata lain dari penilaian otentik adalah
penilaian kinerja, portofolio, dan penilaian proyek. penilaian otentik adakalanya
disebut penilaian responsif, suatu metode yang sangat populer untuk menilai
proses dan hasil belajar peserta didik yang miliki ciri-ciri khusus, mulai dari
mereka yang mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus,
hingga yang jenius.
Penilaian otentik sering
dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunkan standar tes berbasis norma,
pilihan ganda, benar–salah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat. Tentu
saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses pembelajaran,
karena memang lzim digunakan dan memperoleh legitimasi secara akademik. Asesmen
autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja
sama dengan peserta didik. Dalam penilaian otentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting.
Asumsinya, peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika
mereka tahu bagaimana akan dinilai.
Peserta didik diminta
untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka
meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta
mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi. Pada asesmen autentik guru
menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian
keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari luar sekolah.
Penilaian otentik mencoba
menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan siswa belajar, motivasi dan
keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar. Karena penilaian itu
merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi
pemahaman tentang kriteria kinerja. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan
berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka
lakukan.
Penilaian otentik sering digambarkan sebagai penilaian atas
perkembangan peserta didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang
untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek. Penilaian otentik harus
mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa yang sudah atau
belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya,
dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan
sebagainya. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah
layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remidial harus dilakukan.
Diantara beberapa kelebihan penilaian otentik dalam
penerapan kurikulum 2013 antara lain:
1. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013.
2. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan
hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba,
membangun jejaring, dan lain-lain.
3. Penilaian otentik
cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan
peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam pengaturan yang lebih
autentik.
4. Penilaian otentik
sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam pembejajaran, khususnya
jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran yang sesuai.
5. Penilaian otentik
sering dikontradiksikan dengan penilaian yang menggunakan standar tes berbasis
norma, pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, atau membuat jawaban singkat.
6. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan
dalam proses pembelajaran, karena memang lazim digunakan dan memperoleh
legitimasi secara akademik.
7. Penilaian otentik
dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru bekerja sama dengan
peserta didik.
8. Dalam penilaian otentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting.
Asumsinya, peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika
mereka tahu bagaimana akan dinilai.
9. Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan
mengevaluasi kinerja mereka sendiri dalam rangka meningkatkan pemahaman yang
lebih dalam tentang tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang
lebih tinggi.
10. Pada penilaian otentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan
konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari
luar sekolah.
11. Penilaian otentik
mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan siswa belajar, motivasi
dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan belajar.
12. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses
pembelajaran, guru dan peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria
kinerja.
13. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan
berkontribusi untuk mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka
lakukan.
14. Penilaian otentik
sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik, karena
berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar
tentang subjek.
15. Penilaian otentik
harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan apa yang sudah
atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana mereka menerapkan
pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan
perolehan belajar, dan sebagainya.
16. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa
yang sudah layak dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus
dilakukan.
Penilaian Otentik menicayakan proses belajar yang otentik pula.
Menurut Ormiston belajar otentik
mencerminkan tugas dan pemecahan masalah yang dilakukan oleh peserta didik
dikaitkan dengan realitas di luar sekolah atau kehidupan pada umumnya. Penilaian semacam ini
cenderung berfokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual bagi peserta
didik, yang memungkinkan mereka secara nyata menunjukkan kompetensi atau
keterampilan yang dimilikinya. Contoh penialain otentik antara lain keterampilan kerja, kemampuan
mengaplikasikan atau menunjukkan perolehan pengetahuan tertentu, simulasi dan
bermain peran, portofolio, memilih kegiatan yang strategis, serta memamerkan
dan menampilkan sesuatu.
Penialain otentik mengharuskan
pembelajaran yang otentik pula. Menurut
Ormiston belajar otentik mencerminkan tugas
dan pemecahan masalah yang diperlukan dalam kenyataannya di luar sekolah. Penialain otentik terdiri
dari berbagai teknik penilaian. Pertama, pengukuran langsung
keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan hasil jangka panjang
pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua, penilaian atas
tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang kompleks. Ketiga,
analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas
perolehan sikap, keteampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dengan demikian, penialain otentik akan
bermakna bagi guru untuk menentukan cara-cara terbaik agar semua siswa dapat
mencapai hasil akhir, meski dengan satuan waktu yang berbeda. Konstruksi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan dicapai melalui penyelesaian tugas di mana
peserta didik telah memainkan peran aktif dan kreatif. Keterlibatan peserta
didik dalam melaksanakan tugas sangat bermakna bagi perkembangan pribadi
mereka.
Dalam pembelajaran
autentik, peserta didik diminta mengumpulkan informasi dengan pendekatan
saintifik, memahahi aneka fenomena atau gejala dan hubungannya satu sama lain
secara mendalam, serta mengaitkan apa yang dipelajari dengan dunia nyata yang
luar sekolah. Di sini, guru dan peserta didik memiliki tanggung jawab atas apa
yang terjadi. Peserta didik pun tahu apa yang mereka ingin pelajari, memiliki
parameter waktu yang fleksibel, dan bertanggungjawab untuk tetap pada tugas.
Asesmen autentik pun mendorong peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasikan,
menganalisis, mensintesis, menafsirkan, menjelaskan, dan mengevaluasi informasi
untuk kemudian mengubahnya menjadi pengetahuan baru.
Sejalan dengan
deskripsi di atas, pada pembelajaran autentik, guru harus menjadi “guru
autentik.” Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga pada
penilaian. Untuk bisa melaksanakan pembelajaran otentik, guru harus memenuhi kriteria tertentu seperti
disajikan berikut ini;
1.
Mengetahui
bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik serta desain
pembelajaran.
2.
Mengetahui
bagaimana cara membimbing peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan mereka
sebelumnya dengan cara mengajukan pertanyaan dan menyediakan sumberdaya memadai
bagi peserta didik untuk melakukan akuisisi pengetahuan.
3.
Menjadi
pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan mengasimilasikan
pemahaman peserta didik.
4.
Menjadi
kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat diperluas dengan
menimba pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah.
Penialain otentik adalah
komponen penting dari reformasi pendidikan sejak tahun 1990an. Wiggins (1993)
menegaskan bahwa metode penilaian tradisional untuk mengukur prestasi, seperti
tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan lain-lain telah gagal
mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya. Tes semacam ini telah gagal
memperoleh gambaran yang utuh mengenai sikap, keterampilan, dan pengetahuan
peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka di luar sekolah atau
masyarakat.
Penilaian
hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung mereduksi makna kurikulum,
karena tidak menyentuh esensi nyata dari proses dan hasil belajar peserta
didik. Ketika penilaian tradisional
cenderung mereduksi makna kurikulum, tidak mampu menggambarkan kompetensi
dasar, dan rendah daya prediksinya terhadap derajat sikap, keterampilan, dan
kemampuan berpikir yang diartikulasikan dalam banyak mata pelajaran atau
disiplin ilmu; ketika itu pula penialain otentik memperoleh
traksi yang cukup kuat. Memang, pendekatan apa pun yang dipakai dalam penilaian
tetap tidak luput dari kelemahan dan kelebihan. Namun demikian, sudah saatnya
guru profesional pada semua satuan pendidikan memandu gerakan memadukan potensi
peserta didik, sekolah, dan lingkungannya melalui asesmen proses dan hasil
belajar yang autentik.
Data penialain otentik digunakan
untuk berbagai tujuan seperti menentukan kelayakan akuntabilitas implementasi
kurikulum dan pembelajaran di kelas tertentu. Data asesmen autentik dapat
dianalisis dengan metode kualitatif, kuanitatif, maupun kuantitatif. Analisis
kualitatif dari asesmen otentif berupa narasi atau deskripsi atas capaian hasil
belajar peserta didik, misalnya, mengenai keunggulan dan kelemahan, motivasi,
keberanian berpendapat, dan sebagainya. Analisis kuantitatif dari data asesmen
autentik menerapkan rubrik skor atau daftar cek (checklist) untuk menilai tanggapan relatif peserta didik relatif
terhadap kriteria dalam kisaran terbatas dari empat atau lebih tingkat
kemahiran (misalnya: sangat mahir, mahir, sebagian mahir, dan tidak mahir). Rubrik
penilaian dapat berupa analitik atau holistik. Analisis holistik memberikan
skor keseluruhan kinerja peserta didik, seperti menilai kompetisi Olimpiade
Sains Nasional.
I.
Pengembangan Penilaian Otentik
Semua rangkaian dalam lingkup kegiatan belajar mengajar
harus direncanakan dengan baik agar dapat memberikan hasil dan dampak yang
maksimal. Hal inilah antara lain yang kemudian mendorong intensifnya penerapan
teknologi pendidikan dalam dunia pendidikan. Perencanaan yang baik juga harus
diterapkan dalam kegiatan penilaian yang menjadi bagian integral dari kegiatan
pembelajaran. Mueller (2008) mengemukakan sejumlah langkah yang perlu ditempuh
dalam pengembangan penilaian otentik, yaitu yang meliputi penentuan standar; penentuan tugas otentik;
pembuatan kriteria; dan pembuatan rubrik.
1.
Penentuan
Standar
Standar dimaksudkan
sebagai sebuah pernyataan tentang apa yang harus diketahui atau dapat dilakukan
pembelajar. Di samping standar ada goal (tujuan umum) dan objektif (tujuan
khusus), dan standar berada di antara keduanya. Standar dapat diobservasi (observable)
dan diukur (measurable) ketercapaiannya.Istilah umum yang dipakai di dunia
pendidikan di Indonesia untuk standar adalah kompetensi sebagaimana terlihat
pada KBK dan KTSP. Di kurikulum tersebut dikenal adanya istilah standar
kompetensi lulusan dan kompetensi dasar. Standar kompetensi lulusan adalah
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan (PP No. 19 Tahun 2005: 2), sedang kompetensi dasar adalah
kompetensi atau standar minimal yang harus tercapai atau dikuasai oleh
pembelajar.
Kompetensi, baik yang
dirumuskan sebagai standar kompetensi maupun kompetensi dasar, menjadi acuan
dan tujuan yang ingin dicapai dalam keseluruhan proses pembelajaran. Oleh
karena itu, kompetensi apa yang akan dicapai itu haruslah yang pertama-tama
ditetapkan. Untuk kurikulum sekolah (KTSP), standar kompetensi dan kompetensi
dasar, yang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), telah secara jelas ditunjuk. Standar
Kompetensi Lulusan inilah yang kemudian dijadikan pedoman penilaian dalam
penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Karena standar
kompetensi dan kompetensi dasar lazimnya masih abstrak, kompetensi dasar
kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indikator yang lebih operasional sehingga
jelas kemampuan, keterampilan, atau kinerja apa yang menjadi sasaran
pengukuran.
Standar Kompetensi
Lulusan tentu saja harus mencerminkan harapan masyarakat tentang apa yang mesti
dicapai dan atau dikuasai oleh lulusan satuan pendidikan tertentu. Akibat
perkembangan ilmu dan teknologi di era informasi, dewasa ini perkembangan
kehidupan begitu cepat, perubahan demi perubahan begitu cepatnya, apa yang
semula dianggap mapan atau menzaman, dalam hitungan sedikit tahun atau bahkan
bulan, telah menjadi ketinggalan zaman. Dengan demikian, perubahan kini menjadi
kata kunci untuk tetap bertahan. Maka, keterbukaan terhadap perubahan juga
suatu hal yang harus diterima dan disikapi dengan benar. Konsekuensinya, salah
satu kompetensi yang disiapkan untuk lulusan satuan pendidikan juga harus
menerima dan mengikuti arus perubahan itu, dan itu artinya rumusan kompetensi
harus realistik sesuai dengan tuntutan zaman.
2.
Penentuan
Tugas Otentik
Tugas otentik adalah
tugas-tugas yang secara nyata dibebankan kepada pembelajar untuk mengukur
pencapaian kompetensi yang dibelajarkan, baik ketika kegiatan pembelajaran
masih berlangsung atau ketika sudah berakhir. Pengukuran hasil pencapaian
kompetensi pembelajar yang secara realistic dilakukan di kelas dapat bersifat
model tradisional atau otentik sekaligus tergantung kompetensi atau indicator
yang akan diukur. Tugas otentik (authentic task) sering disinonimkan dengan
penilaian otentik (authentic assessment) walau sebenarnya cakupan maknayang
kedua lebih luas.Permasalahan yang segera muncul adalah tugas-tugas apa atau
model-model pengukuran apa yang dapat dikategorikan sebagai tugas atau
penilaian otentik.
Semua kegiatan
pengukuran pendidikan harus mengacu pada standar (standar kompetensi,
kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian pula halnya dengan pemberian
tugas-tugas otentik. Pemilihan tugas-tugas tersebut pertama-tama haruslah
merujuk pada kompetensi mana yang akan diukur pencapaiannya. Kedua, dan inilah
yang khas penilaian autentik, pemilihan tugastugas itu harus mencerminkan
keadaan atau kebutuhan yang sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah
penilaian otentik mesti terkandung dua hal sekaligus: sesuai dengan standar
(kompetensi) dan relevan (bermakna) dengan kehidupan nyata. Dua hal tersebut
haruslah menjadi acuan kita ketika membuat tugas-tugas otentik untuk mengukur
pencapaian kompetensi pembelajaran kepada peserta didik.
Dengan demikian, apa
yang ditugaskan oleh guru kepada pembelajar dan yang dilakukan oleh pembelajar
telah mencerminkan kompetensi yang memang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal
itu berarti ada keterkaitan antara dunia pendidikan di satu sisi dengan
tuntutan kebutuhan kehidupan di dunia nyata di sisi lain. Misalnya, dalam
pembelajaran bahasa, bahasa target apa saja, pasti terdapat standar kompetensi
lulusan yang berkaitan dengan kemampuan menulis. Menulis dalam kaitan ini bukan
sekedar menulis demi tulisan itu sendiri, melainkan menulis untuk menghasilkan
karya tulis yang memang dibutuhkan di dunia nyata. Misalnya, menulis surat lamaran
pekerjaan, surat penawaran produk, menulis artikel untuk media masa, dan lain-lain. Untuk itu, pembuatan
tugas-tugas otentik dalam rangka penilaian otentik capaian hasil belajar
peserta didik mesti terkait dengan kemampuan menghasilkan karya tulis jenis-jenis
tersebut.
3.
Pembuatan
Kriteria
Jika standar
(kompetensi, kompetensi dasar) merupakan arah dan acuan kompetensi pembelajaran
yang dibelajarkan oleh pendidik dan sekaligus akan dicapai dalam oleh subjek
didik, proses pembelajaran haruslah secara sadar diarahkan ke capaian
kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan
penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar capaian kompetensi sebagai
bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan criteria yang dapat menggambarkan
capaian kompetensi yang dimaksud. Kriteria merupakan pernyataan yang
menggambarkan tingkat capaian dan bukti-bukti nyata capaian belajar subjek
belajar dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Kriteria lazimnya juga telah
dirumuskan sebelum pelaksanaan pembelajaran. Dalam kurikulum berbasis
kompetensi kriteria lebih dikenal dengan sebutan indikator.
Dalam kegiatan
pembelajaran, semua kompetensi yang dibelajarkan harus diukur kadar capaiannya
oleh pembelajar. Jika dalam lingkup penilaian otentik harus melibatkan dua
macam relevansi, yaitu sesuai dengan kompetensi dan bermakna dalam kehidupan
nyata, kriteria atau indikator penilaian yang dikembangkan harus juga
mengandung kedua tuntutan tersebut. Singkatnya, sebuah kriteria penilaian
capaian hasil belajar harus cocok dengan kompetensi yang dibelajarkan dan
sekaligus bermakna atau relevan dengan kehidupan nyata. Jumlah criteria yang
dibuat bersifat relatif, tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti criteria
harus mengungkap capaian hal-hal yang esensial dalam sebuah standar
(kompetensi) karena hal itulah yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi
pembelajaran. Kita tidak mungkin menagih semua tugas yang dibelajarkan dan
sekaligus dipelajari subjek didik.
Selain itu, pembuatan
kriteria harus mengacu pada ketentuan-ketentuan yang selama ini dinyatakan
baik, baik dalam arti efektif untuk keperluan penilaian hasil belajar.
Ketentuan-ketentuan itu antara lain (i) harus dirumuskansecara jelas; (ii)
singkat padat; (iii) dapat diukur, dan karenanya haruslah dipergunakan kata-kata
kerja operasional; (iv) menunjuk pada tingkah laku hasil belajar, apa yang
mesti dilakukan dan bagaimana kualitas yang dituntut; dan (v) sebaiknya ditulis
dalam bahasa yang dipahami oleh subjek didik. Perumusan kriteria yang jelas dan
operasional akan mempermudah kita, para guru, untuk melakukan kegiatan
penilaian.
4.
Pembuatan
Rubrik
Penilaian otentik
menggunakan pendekatan penilaian acuan criteria (criterion referenced measures)
untuk menentukan nilai capaian subjek didik. Dengan demikian, nilai seorang
pembelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja ditampilkannya secara nyata yang
menunjukkan tingkat capaian kompetensi yang dibelajarkan. Untuk menentukan
tinggi rendahnya skor kinerja yang dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala
untuk memberikan skorskor tiap kriteria yang telah ditentukan. Alat yang
dimaksud disebut rubric (rubric). Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala
penyekoran (scoring scale) yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik
untuk tiap criteria terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller, 2008).
Dalam sebuah rubrik
terdapat dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu criteria dan tingkat capaian
kinerja (level of performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial
standar (kompetensi) yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara
esensial dan konkret mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan membatasi
criteria pada hal-hal esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria yang dibuat
yang menyebabkan penilaian menjadi kurang praktis. Selain itu, kriteria
haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa pernyataan dan bukan kalimat)
singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal, dan benarbenar
mencerminkan hal-hal esensial (dari standar/kompetensi) yang diukur. Dalam
sebuah rubrik, kriteria mungkin saja atau boleh juga dilabeli dengan kata-kata
tertentu yang lebih mencerminkan isi, misalnya dengan kata-kata: unsur yang
dinilai.
Tingkat capaian
kinerja, di pihak lain, umumnya ditunjukkan dalam angka-angka, dan yang lazim
adalah 1-4 atau 1-5, besar kecilnya angka sekaligus menunjukkan tinggi
rendahnya capaian. Tiap angka tersebut biasanya mempunyai deskripsi verbal yang
diwakili, misalnya skor 1: tidak ada kinerja, sedang skor 5: kinerja sangat
meyakinkan dan bermakna. Bunyi deskripsi verbal tersebut harus sesuai dengan
kriteria yang akan diukur. Yang pasti terdapat banyak variasi dalam pembuatan
rubrik, juga untuk criteria dan angka tingkat capaian kinerja. Penilaian
tingkat capaian kinerja seorang pembelajar dilakukan dengan menandai angka-angka
yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam tabel, kriteria ditempatkan di
sebelah dan tingkat capaian di sebelah kanan tiap kriteria yang diukur
capaiannya itu. Misalnya, untuk mengukur tampilan pidato seorang siswa,
dibuatkan rubrik sebagai berikut.
Kemampuan Berpidato
No
|
Aspek yang di nilai
|
Tingkat Capaian
Kinerja
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||
1.
|
Ketepatan laval
|
|||||
2.
|
Ketepatan diksi
|
|||||
3.
|
Ketepatan struktur gramatikal
|
|||||
4.
|
Sifat penuturan
|
|||||
5.
|
Pemahaman dan kelancaran
|
|||||
6.
|
Ketepatan gagasan
|
|||||
7.
|
Keakuratan gagasan
|
|||||
8.
|
Keluasan gagasan
|
|||||
9.
|
Keterkaitan antar gagasan
|
|||||
10.
|
Kebermaknaan penuturan
|
|||||
Model penilaian otentik (authentic assessment) dewasa ini banyak
dibicarakan di dunia pendidikan karena model ini direkomendasikan, atau bahkan
harus ditekankan, penggunaannya dalam kegiatan menilai hasil belajar pebelajar.
Salah satu permasalahan yang muncul adalah belum tentu semua guru/dosen
memahami konsep dan pelaksanaan penilaian autentik. Jika sebuah konsep belum
terpahami, bagaimana mungkin kita mau mempergunakannya untuk keperluan praktis
pada kegiatan pembelajaran? Mungkin saja orang menyangka atau mengatakan telah
mempergunakan penilaian autentik untuk menilai hasil belajar siswa, tetapi pada
kenyataannya tidak demikian.
Penilaian otentik
mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian, seluruh
tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara
objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil akhir
(produk) saja. Lagi pula amat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika
dilihat dari sudut pandang teori Bloom sebuah model yang dijadikan acuan
pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di Indonesia sebelum ini
penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hakikat penilaian
pendidikan menurut konsep authentic assesment adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa.
Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data
yang dikumpulkan guru mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam
belajar, guru segara bisa mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran
tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran,
asesmen tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti
pada kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi juga
dilakukan bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan
pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168)
Data yang dikumpulkan
melalui kegiatan penilaian (assesment) bukanlah untuk mencari informasi
tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya
membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan
ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode
pembelajaran (Nurhadi, 2004: 168).
Penilaian autentik
mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus. Dengan demikian, seluruh
tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara
objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan pada hasil akhir
(produk). Lagi pula sangat banyak kinerja siswa yang ditampilkan selama
berlangsungnya kegiatan pembelajaran sehingga penilaiannya haruslah dilakukan
selama dan sejalan dengan berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika
dilihat dari sudut pandang teori Bloom, sebuah model yang dijadikan acuan
pengembangan penilaian dalam beberapa kurikulum di Indonesia sebelum ini,
penilaian haruslah mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Cara penilaian juga
bermacam-macam, dapat menggunakan model nontes dan tes sekaligus, serta dapat
dilakukan kapan saja bersamaan dengan kegiatan pembelajaran. Namun, semuanya
harus tetap terencana secara baik. Misalnya, dengan memberikan tes (ulangan)
harian, latihan-latihan di kelas, penugasan, wawancara, pengamatan, angket,
catatan lapangan/harian, atau portofolio. Penilaian yang dilakukan lewat
berbagai cara atau model, menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan
produk inilah yang kemudian disebut sebagai penilaian autentik. Autentik dapat
berarti dan sekaligus menjamin keobjektifan, sesuatu yang nyata, konkret,
benar-benar hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.
Penilaian autentik
menekankan kemampuan pebelajar untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang
dimiliki secara nyata dan bermakna. Kegiatan penilaian tidak sekadar menanyakan
atau menyadap pengetahuan yang telah diketahui pembelajar, tetapi juga kinerja
secara nyata dari pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan
Mueller (2008) penilaian autentik merupakan a form of assessment in which
students are asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful
application of essential knowledge and skills. Jadi, penilaian autentik
merupakan suatu bentuk tugas yang menghendaki pebelajar untuk menunjukkan
kinerja di dunia nyata. secara bermakna yang merupakan penerapan esensi
pengetahuan dan keterampilan. Menurut Stiggins (dalam Mueller, 2008), penilaian
autentik merupakan penilaian kinerja (perfomansi) yang meminta pebelajar untuk
mendemonstrasikan keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan
pengetahuan yang dikuasainya
Dalam rangka
melaksanakan penilaian otentik yang baik, guru
harus memahami secara jelas tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu, guru harus
bertanya pada diri sendiri, khususnya berkaitan dengan: (1) sikap,
keterampilan, dan pengetahuan apa yang akan dinilai; (2) fokus penilaian akan
dilakukan, misalnya, berkaitan dengan sikap, keterampilan, dan pengetahuan; dan
(3) tingkat pengetahuan apa yang akan dinilai, seperti penalaran, memori, atau
proses. Beberapa jenis penilaian otentik disajikan berikut ini.
1.
Penilaian
Kinerja
Penilaian otentik sebisa mungkin melibatkan parsisipasi peserta didik,
khususnya dalam proses dan aspek-aspek yangg akan dinilai. Guru dapat
melakukannya dengan meminta para peserta didik menyebutkan unsur-unsur
proyek/tugas yang akan mereka gunakan untuk menentukan kriteria
penyelesaiannya. Dengan menggunakan informasi ini, guru dapat memberikan umpan
balik terhadap kinerja peserta didik baik dalam bentuk laporan naratif mauun
laporan kelas. Ada beberapa cara berbeda untuk merekam hasil penilaian berbasis
kinerja:
a)
Daftar
cek (checklist). Digunakan untuk mengetahui muncul atau tidaknya
unsur-unsur tertentu dari indikator atau subindikator yang harus muncul dalam
sebuah peristiwa atau tindakan.
b)
Catatan
anekdot/narasi (anecdotal/narative records). Digunakan dengan cara guru
menulis laporan narasi tentang apa yang dilakukan oleh masing-masing peserta
didik selama melakukan tindakan. Dari laporan tersebut, guru dapat menentukan
seberapa baik peserta didik memenuhi standar yang ditetapkan.
c)
Skala
penilaian (rating scale). Biasanya digunakan dengan menggunakan skala
numerik berikut predikatnya. Misalnya: 5 = baik sekali, 4 = baik, 3 = cukup, 2
= kurang, 1 = kurang sekali.
d)
Memori
atau ingatan (memory approach). Digunakan oleh guru dengan cara
mengamati peserta didik ketika melakukan sesuatu, dengan tanpa membuat catatan.
Guru menggunakan informasi dari memorinya untuk menentukan apakah peserta didik
sudah berhasil atau belum. Cara seperti tetap ada manfaatnya, namun tidak cukup
dianjurkan.
Penilaian kinerja
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertama, langkah-langkah
kinerja harus dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja yang nyata
untuk suatu atau beberapa jenis kompetensi tertentu. Kedua, ketepatan
dan kelengkapan aspek kinerja yang dinilai. Ketiga, kemampuan-kemampuan
khusus yang diperlukan oleh peserta didik untuk menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran. Keempat, fokus utama dari kinerja yang akan dinilai,
khususnya indikator esensial yang akan diamati. Kelima, urutan dari
kemampuan atau keerampilan peserta didik yang akan diamati.
Pengamatan atas
kinerja peserta didik perlu dilakukan dalam berbagai konteks untuk menetapkan
tingkat pencapaian kemampuan tertentu. Untuk menilai keterampilan berbahasa
peserta didik, dari aspek keterampilan berbicara, misalnya, guru dapat
mengobservasinya pada konteks yang, seperti berpidato, berdiskusi, bercerita,
dan wawancara. Dari sini akan diperoleh keutuhan mengenai keterampilan
berbicara dimaksud. Untuk mengamati kinerja peserta didik dapat menggunakan
alat atau instrumen, seperti penilaian sikap, observasi perilaku, pertanyaan
langsung, atau pertanyaan pribadi.
Penilaian-diri (self
assessment) termasuk dalam rumpun penilaian kinerja. Penilaian diri
merupakan suatu teknik penilaian di mana peserta didik diminta untuk menilai
dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian
kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu. Teknik penilaian
diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif, afektif dan
psikomotor.
a)
Penilaian
ranah sikap. Misalnya, peserta didik diminta mengungkapkan curahan perasaannya
terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan.
b)
Penilaian
ranah keterampilan. Misalnya, peserta didik diminta untuk menilai kecakapan
atau keterampilan yang telah dikuasainya oleh dirinya berdasarkan kriteria atau
acuan yang telah disiapkan.
c)
Penilaian
ranah pengetahuan. Misalnya, peserta didik diminta untuk menilai penguasaan
pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dari suatu mata
pelajaran tertentu berdasarkan atas kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Teknik penilaian-diri
bermanfaat memiliki beberapa manfaat positif. Pertama, menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik. Kedua, peserta didik menyadari
kekuatan dan kelemahan dirinya. Ketiga,
mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik berperilaku jujur. Keempat, menumbuhkan semangat untuk
maju secara personal.
2.
Penilaian
Proyek
Penilaian proyek (project assessment) merupakan
kegiatan penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh peserta didik
menurut periode/waktu tertentu. Penyelesaian tugas dimaksud berupa investigasi
yang dilakukan oleh peserta didik, mulai dari perencanaan, pengumpulan data,
pengorganisasian, pengolahan, analisis, dan penyajian data. Dengan demikian,
penilaian proyek bersentuhan dengan aspek pemahaman, mengaplikasikan,
penyelidikan, dan lain-lain.
Selama mengerjakan
sebuah proyek pembelajaran, peserta didik memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan
sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Karena itu, pada setiap penilaian
proyek, setidaknya ada tiga hal yang memerlukan perhatian khusus dari guru.
a)
Keterampilan
peserta didik dalam memilih topik, mencari dan mengumpulkan data, mengolah dan
menganalisis, memberi makna atas informasi yang diperoleh, dan menulis laporan.
b)
Kesesuaian
atau relevansi materi pembelajaran dengan pengembangan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan yang dibutuhkan oleh peserta didik.
c)
Orijinalitas
atas keaslian sebuah proyek pembelajaran yang dikerjakan atau dihasilkan oleh
peserta didik.
Penilaian proyek
berfokus pada perencanaan, pengerjaan, dan produk proyek. Dalam kaitan ini
serial kegiatan yang harus dilakukan oleh guru meliputi penyusunan rancangan
dan instrumen penilaian, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapkan
laporan. Penilaian proyek dapat menggunakan instrumen daftar cek, skala
penilaian, atau narasi. Laporan penilaian dapat dituangkan dalam bentuk poster
atau tertulis.
Produk akhir dari
sebuah proyek sangat mungkin memerlukan penilaian khusus. Penilaian produk dari
sebuah proyek dimaksudkan untuk menilai kualitas dan bentuk hasil akhir secara
holistik dan analitik. Penilaian produk dimaksud meliputi penilaian atas
kemampuan peserta didik menghasilkan produk, seperti makanan, pakaian, hasil
karya seni (gambar, lukisan, patung, dan lain-lain), barang-barang terbuat dari
kayu, kertas, kulit, keramik, karet, plastik, dan karya logam. Penilaian secara
analitik merujuk pada semua kriteria yang harus dipenuhi untuk menghasilkan
produk tertentu. Penilaian secara holistik merujuk pada apresiasi atau kesan
secara keseluruhan atas produk yang dihasilkan.
3.
Penilaian
Portofolio
Penilaian portofolio
merupakan penilaian atas kumpulan artefak yang menunjukkan kemajuan dan
dihargai sebagai hasil kerja dari dunia nyata. Penilaian portofolio bisa
berangkat dari hasil kerja peserta didik secara perorangan atau diproduksi
secara berkelompok, memerlukan refleksi peserta didik, dan dievaluasi
berdasarkan beberapa dimensi.
Penilaian portofolio
merupakan penilaian berkelanjutan yang didasarkan pada kumpulan informasi yang
menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik dalam satu periode tertentu.
Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran
yang dianggap terbaik, hasil tes (bukan nilai), atau informasi lain yang
releban dengan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dituntut oleh topik
atau mata pelajaran tertentu. Fokus
penilaian portofolio adalah kumpulan karya peserta didik secara individu atau
kelompok pada satu periode pembelajaran tertentu. Penilaian terutama dilakukan
oleh guru, meski dapat juga oleh peserta didik sendiri.
Memalui penilaian
portofolio guru akan mengetahui perkembangan atau kemajuan belajar peserta
didik. Misalnya, hasil karya mereka dalam menyusun atau membuat karangan,
puisi, surat, komposisi musik, gambar, foto, lukisan, resensi buku/ literatur,
laporan penelitian, sinopsis, dan lain-lain. Atas dasar penilaian itu, guru
dan/atau peserta didik dapat melakukan perbaikan sesuai dengan tuntutan
pembelajaran.
a)
Penilaian
portofolio dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah seperti berikut ini.
Guru menjelaskan secara ringkas esensi penilaian portofolio.
b)
Guru
atau guru bersama peserta didik menentukan jenis portofolio yang akan dibuat.
c)
Peserta
didik, baik sendiri maupun kelompok, mandiri atau di bawah bimbingan guru
menyusun portofolio pembelajaran.
d)
Guru
menghimpun dan menyimpan portofolio peserta didik pada tempat yang sesuai,
disertai catatan tanggal pengumpulannya.
e)
Guru
menilai portofolio peserta didik dengan kriteria tertentu.
Jika memungkinkan, guru bersama peserta didik membahas bersama dokumen portofolio yang dihasilkan.
Jika memungkinkan, guru bersama peserta didik membahas bersama dokumen portofolio yang dihasilkan.
f)
Guru
memberi umpan balik kepada peserta didik atas hasil penilaian portofolio.
4.
Penilaian
Tertulis
Penilaian tertulis
adalah penilaian yang menuntut peserta didik memberi jawaban secara tertulis
berupa pilihan dan/atau isian. Meski konsepsi penilaian otentik muncul dari ketidakpuasan terhadap tes tertulis yang
lazim dilaksanakan pada era sebelumnya, penilaian tertulis atas hasil
pembelajaran tetap lazim dilakukan. Tes tertulis terdiri dari memilih atau
mensuplai jawaban dan uraian. Memilih jawaban dan mensuplai jawaban. Memilih
jawaban terdiri dari pilihan ganda, pilihan benar-salah, ya-tidak, menjodohkan,
dan sebab-akibat. Mensuplai jawaban terdiri dari isian atau melengkapi, jawaban
singkat atau pendek, dan uraian.
Tes tertulis
berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik mampu mengingat, memahami,
mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan
sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Tes tertulis berbentuk uraian
sebisa mungkin bersifat komprehentif, sehingga mampu menggambarkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didik.
Pada tes tertulis
berbentuk esai, peserta didik berkesempatan memberikan jawabannya sendiri yang
berbeda dengan teman-temannya, namun tetap terbuka memperoleh nilai yang sama.
Misalnya, peserta didik tertentu melihat fenomena kemiskinan dari sisi pandang
kebiasaan malas bekerja, rendahnya keterampilan, atau kelangkaan sumberdaya
alam. Masing-masing sisi pandang ini akan melahirkan jawaban berbeda, namun
tetap terbuka memiliki kebenarann yang sama, asalkan analisisnya benar. Tes
tersulis berbentuk esai biasanya menuntut dua jenis pola jawaban, yaitu jawaban
terbuka (extended-response) atau jawaban terbatas (restricted-response).
Hal ini sangat tergantung pada bobot soal yang diberikan oleh guru. Tes semacam
ini memberi kesempatan pada guru untuk dapat mengukur hasil belajar peserta
didik pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks.
Soal bentuk uraian
non-objektif (esai) tidak dapat
diskor secara objektif, karena jawaban yang dinilai dapat berupa opini
atau pendapat peserta didik sendiri, bukan berupa konsep kunci yang sudah
pasti. Pedoman penilaiannya berupa kriteria-kriteria jawaban. Setiap kriteria
jawaban diberi rentang skor tertentu, misalnya 0 – 5. Tidak ada jawaban untuk
suatu kriteria diberi skor 0. Besar- kecilnya skor yang diperoleh peserta
didik untuk suatu kriteria ditentukan berdasarkan tingkat kesempurnaan jawaban.
5.
Penilaian
Jurnal
Jurnal merupakan
wadah yang memuat hasil refleksi berupa sebuah dokumen yang secara terus
menerus bertambah dan berkembang, dan ditulis oleh peserta didik untuk mencatat
setiap kemajuan. Jurnal juga merupakan catatan pendidik selama proses
pembelajaran yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan
kelemahan peserta didik yang terkait dengan kinerja ataupun sikap dan perilaku
peserta didik yang dipaparkan secara deskriptif. Jurnaljuga merupakan laporan
yang ditulis sendiri oleh peserta didik, dimanapeserta didik menceritakan
hal-hal mengenai subjek yang telah dipelajarinya.
Jurnal digunakan
untuk kelengkapan assessment, yaitu untuk memperoleh beberapa pemecahan masalah
yang berasal dari buku pelajaran yang dipelajari peserta didik atau pekerjaan
rumah yang telah dibuat oleh peserta didik, untuk memperoleh tanggapan
peserta didik terhadap pertanyaan dari pendidik atau peserta didik lainnya,
untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan melaporkan bagaimana cara memecahkan
masalah tersebut, untuk mengklarifikasikan sesuatu yang baru dan menyempurnakan
suatu teori dari apa yang telah dipelajari di sekolah, untuk
menghubungkan ide-ide yang telah dikemukakan dari suatu permasalahan, dari
pemikiran tentang proyek yang berpotensi, tulisan-tulisan, dan presentasi-presentasi,
dan untuk mengikuti kemajuan dari sebuah eksperimen, situasi di sekolah
terhdap peserta didiknya terjadi selanjutnya
Kelebihan penilaian
Jurnal antara lain membantu mengidentifikasi apa yang telah dipelajari dan
meningkatkan bagian yang masih kurang, membantu melihat pola belajar dan gaya
belajar, memberikan gambaran mengenai kemajuan yang didapat masalah yang
dihadapi dan bagaimana menyelesaikannya, memiliki catatan tentang segala
aktivitas yang dilakukan, membantu pengorganisasian belajar, melatih kemampuan
menulis pertanyaan pendidik, dan melatih kemampuan mengkomunikasikan respon
dengan cara yang dirasa nyaman.
Teknik penilaian
Jurnal dilakukan dengan menilai hasil kumpulan catatan atau keberhasilan dalam
suatu kegiatan dengan memperhatikan beberapa aspek, yaitu: catatan dasar atau
kelengkapan catatan, ketepatan waktu, pengembangan indicator yang tinggi,
sedang dan rendah, penilaian jurnal pada criteria lainnya, dan
menambahkan penilaian untuk criteria bersama lainnya untuk menentukan nilai
total.
6.
Penilaian
Lisan
Tes lisan yakni tes yang dilakukan dengan mengadakan
tanya jawab secara langsung antara pendidik dan pesertadidik Penilaian
lisan sering digunakan oleh pendidik di kelas untuk menilai peserta didik
dengan cara memberikan beberapa pertanyaan secara lisan dan dijawab oleh
peserta didik secara lisan juga.
Pertanyaan lisan
merupakan variasi dari tes uraian. Penilaian ini sering digunakan pada ujian
akhir mata pelajaran agama dan sosial. Kelebihan
penilaian ini antara lain: memberikan kesempatan kepada pendidik dan peserta
didik untuk menentukan sampai seberapa baik pendidik atau peserta didik dapat
menyimpulkan atau mengekspresikan dirinya, peserta didik tidak terlalu
tergantung untuk memilih jawaban tetapi memberikan jawaban yang benar,
peserta didik dapat memberikan respon dengan bebas. Penilaian lisan bertujuan
untuk mengungkapkan sebanyak mungkin pegetahuan dan pemahaman peserta didik
tentang materi yang diuji. Sedangkan kelemahan tes lisan antara lain subjektivitas
pendidik sering mencemari hasil tes dan waktu pelaksanaan yang diperlukan
relatif cukup lama.
Penilaian lisan dapat
dilakukan dengan dengan teknik sebagai berikut:
1.
Sebelum
dilaksanakan tes lisan, pendidik sudah melakukan inventarisasi berbagai jenis soal
yang akan diajukan kepada peserta didik, sehingga dapat diharapkan memiliki
validitas yang tinggi dan baik dari segi isi maupun konstruksinya.
2.
Siapkan
pedoman dan ancar-ancar jawaban bentuknya, agar mempunyai kriteria pasti dalam
penskoran dan tidak terkecok dengan jawaban yang panjang lebar dan
berbelit-belit.
3.
Skor
ditentukan saat masing-masing peserta didik selesai dites, agar pemberian skor
atau nilai yang diberikan tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh
peserta didik yang lain.
4.
Tes
yang diberikan hendaknya tidak menyimpang atau berubah arah dari evaluasi
menjadi diskusi.
5.
Untuk
menegakan obyektivitas dan prinsip keadilan, Pendidik tidak diperkenankan
memberikan angin segar atau memancing dengan kata-kata atau kode tertentu yang
bersifat menolong peserta didik dengan aalasan kasihan atau rasa simpati.
6.
Tes
lisan harus berlangsung secara wajar. Artinya jangan sampai menimbulkan rasa
takut, gugup atau panik di kalangan peserta didik.
7.
Pendidik
mempunyai pedoman waktu bagi peserta didik dalam menjawab soal-soal atau
pertanyaan pada tes lisan.
8.
Pertanyaan
yang diajukan hendaknya bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan
yang ditanyakan sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat berlainana atau
beragam.
9.
Pelaksanaan
tes dilakukan secara individual (satu demi satu), agar tidak mempengaruhi
mental peserta didik yang lainnya.
7.
Penilaian
Praktek
Penilaian Praktek
dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan
aktivitas pembelajaran. Penilaian ini cocok digunakan untuk menilai
ketercapaian kompetensi atau indikator keberhasilan yang menurut peserta didik
menunjukkan unjuk kerja, misalnya bermain peran, memainkan alat musik,
bernyanyi, membaca puisi, menggunkan peralatan laboratorium, mengoperasikan
komputer.
Dalam penilaian
praktek perlu mempertimbangkan: langkah-langkah kinerja yang diharapkan
dilakukan peserta didik untuk menunjukkan kinerja dari suatu kompetensi,
kelengkapan dan ketepatan aspek yang akan dinilai dalam kinerja tersebut,
kemampuan khusus yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, upayakan kemampuan
yang akan dinilai tidak terlalu banyak, sehingga semua dapat diamati, dan
kemampuan yang akan dinilai diurutkan berdasarkan urutan yang akan diamati.
Teknik Penilaian
Praktek dibagi dua macam, yaitu daftar cek dan skala rentang. Daftar Cek Pada
penilaian praktek yang menggunakan daftar cek (ya – tidak), peserta didik
mendapat nilai apabila kriteria penguasaaan kompetensi tertentu dapat diamati
oleh penilai. Kelemahan teknik penilaian ini ialah penilai hanya mempunyai dua
pilihandan tidak menpunyai nilai tengah. Misalnya benar-salah, dapat
diamati-tidak dapat diamati.
Sedangkan Skala
Rentang pada penilaian unjuk kerja memungkinkan penilai memberikan skor tengah
terhadap penguasaan kompetensi tertentu. Karena pemberian nilai secara
kontinuum di mana pilihan kategori nilai lebih dari dua, misalnya sangat
kompeten – kompeten – tidak kompeten.- sangat tidak kompeten. Penilaian
skala rentang sebaiknya dilakukan oleh lebih dari satu orang agar faktor sujektivitas
dapat diperkecil dan hasil penilaian lebih akurat.
8.
Penilaian
Diri
Penilaian diri adalah
suatu teknik penilaian yang meminta peserta didik untuk menilai dirinya sendiri
berkaitan dengan status, proses, dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya.
Teknik penilaian diri dapat digunakan untuk mengukur kompetensi kognitif,
afektif dan psikomotor.
Penilaian diri
didefinisikan sebagai “monitoring of one’s own levels of knowledge,
performance, abilities, thinking, behaviour and/or strategy” (Wilson and
Wing Jan 1998;2). Kutipan di atas menunjukkan bahwa penilaian diri adalah
kegiatan untuk memonitor tingkat penampilan atau performansi, kemampuan,
prilaku dan strategi yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu tugas
yang diberikan atau dilakukan. Selain itu penilaian diri mencakup dapat tiga
domain yaitu pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Penilaian kompetensi
kognitif, misalnya peserta didik diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan
dan keterampilan berpikirnya sebagai hasil belajar dari suatu mata pelajaran
tertentu. Penilaian kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta
untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu objek
tertentu. Penilaian kompetensi psikomotorik, peserta didik dapat diminta untuk
menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya berdasarkan kriteria
atau acuan yang telah disiapkan.
Penggunaan teknik ini
dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang.
Keuntungan penggunaan penilaian diri di kelas antara lain: dapat menumbuhkan
rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai
dirinya sendiri; peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena
ketika mereka melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap
kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya; dan dapat mendorong, membiasakan, dan
melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur
dan objektif dalam melakukan penilaian.
Penilaian diri
merupakan suatu metode penilaian yang memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk mengambil tanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri. Mereka diberi
kesempatan untuk menilai pekerjaan dan kemampuan mereka sesuai dengan
pengalaman yang mereka rasakan.
Penilaian diri
dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. Oleh karena itu,
penilaian diri oleh peserta didik di kelas perlu dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Menentukan
kompetensi atau aspek kemampuan yang akan dinilai.
2.
Menentukan
kriteria penilaian yang akan digunakan.
3.
Merumuskan
format penilaian, dapat berupa pedoman penskoran, daftar tanda cek, atau skala
penilaian.
4.
Meminta
peserta didik untuk melakukan penilaian diri.
5.
Pendidik
mengkaji sampel hasil penilaian secara acak, untuk mendorong peserta didik supaya
senantiasa melakukan penilaian diri secara cermat dan objektif.
6.
Menyampaikan
umpan balik kepada peserta didik berdasarkan hasil kajian terhadap sampel hasil
penilaian yang diambil secara acak.
CONTOH PENILAIAN DIRI
|
BAB III
PENUTUP
.
A.
Kesimpulan
Penilaian adalah proses sistematis meliputi
pengumpulan informasi (angka, deskripsi
verbal), analisis, interpretasi informasi untuk membuat keputusan. Penggunaan penilaian autentik memungkinkan dilakukannya pengukuran secara
langsung terhadap kinerja pembelajar sebagai indikator capain kompetensi yang
dibelajarkan.
Penilaian autentik memberikan kesempatan pembelajar
untuk mengkonstruksikan hasil belajarnya. Penilaian autentik memungkinkan
terintegrasikannya kegiatan pengajaran, belajar, dan penilaian menjadi satu
paket kegiatan yang terpadu. Penilaian autentik memberi kesempatan pembelajar
untuk menampilkan hasil belajarnya, unjuk kerjanya, dengan cara yang dianggap
paling baik.Singkatnya, model ini memungkinkan pembelajar memilih sendiri cara,
bentuk, atau tampilan yang menurutnya paling efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Duncan dan Bell Chris, Evaluating and Assessing for
Learning. New Jersey: Nichols Publishing Company, 1994.
Mimin Haryati. Model dan Teknik Penilaian Pada
Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Suharsimi. Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Bandung : Bumi Aksara, 1996.
Asep Jihad dan Abdul Haris, Evaluasi Pembelajaran.
Yogyakarta: Multi Pressindo, 2013.
Burhanuddin Tola, Penilaian
Diri (Self Evaluation) Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang
Kemendiknas, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar